Oleh: Akhrom Saleh, WNI yang Dibesarkan di Lingkungan Keluarga yang Islami
”Mana yang Lebih Subtansi, Sebuah Logo Atau Sidang Fatwa MUI Tuk Menentukan Produk Halal?”
Saya pribadi adalah seorang muslim, walaupun bukan yang fanatik, tapi paling tidak saya dibesarkan di lingkungan muslim yang taat. Sehingga dasar-dasar dan nilai-nilai ke-Islam-an tidak begitu awam.
Terlepas dari itu, dalam konteks kondisi kekinian, berkaitan dengan logo produk halal yang telah berganti, dari mulanya terlihat kaligrafi ke-Islamannya, namun sekarang “katanya” sudah tidak lagi terlihat seperti logo pendahulunya. Bahkan ada juga yang mengatakan, bahwa logo yang telah disahkan oleh Kementerian Agama RI tersebut, cenderung lebih mengutamakan kebudayaan Indonesia ketimbang brand image ke-Islamannya.
Mulanya nyaris tidak tertarik untuk membahas polemik logo sertifikasi halal tersebut, akan tetapi ada seseorang yang bertanya bagaimana pandangan saya terkait logo Halal yang baru? (Saya tahu orang yang bertanya itu sedang mencari second opinion). Namun sebelum menjawab tentunya terlebih dulu saya pikirkan agar tidak terpancing dengan ‘pertanyaan yang menurut saya tidak subtansif tersebut’.
Kenapa saya katakan pertanyaan itu bukanlah hal yang subtansif, sebab sebenarnya, bukan pada logo yang berganti itu subtansinya, melainkan menurut saya, bahwa esensi dari sebuah produk halal dan tidaknya bukan lantaran logo yang telah berganti rupa.
Namun, sebelum kita masuk pada kesimpulan, ada beberapa pertanyaan selanjutnya yang muncul dari para netizen media sosial, khususnya grup Whatsapp.
Apakah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal/BPJPH, Kementerian Agama RI, para pengurus atau penyelenggaranya berprilaku jujur dan amanah? Mungkin pertanyaannya itu berkaitan erat dengan pemerintah telah membentuk badan penyelenggara sertifikasi halal tersendiri. Dan memang seperti yang saya ketahui bahwa sejak pemerintahan Orde Baru untuk menentukan sebuah produk halal dan tidaknya yakni, hanyalah Mejelis Ulama Indonesia (MUI).
Kendati demikian negara telah membentuk badan penyelenggaranya (BPJPH) untuk sertifikasi halal produk tertentu, bukan berarti fungsi dari Majelis Ulama Indonesia hilang begitu saja ditelan bumi. Ini artinya negara sama sekali tidak menghilangkan fungsi dari MUI sebagai hakim yang menentukan produk halal atau tidaknya melalui sidang fatwanya yg tentunya sebelum itu, melalui proses administratif terlebih dulu.
Eit tunggu dulu… jgn buru-buru menyimpulkan, kita kembali lagi pada pertanyaan sebelumnya di atas, sebuah pertanyaan yang masih berkutat dengan pertanyaan yang tidak subtansi tersebut, bahkan cenderung menjebak itu, bahwa untuk meng-HAKIMI para pengurus di BPJPH berprilaku jujur dan tidaknya, bukanlah urusan kita, atau lebih kurangnya biarkan saja penilaian itu ada pada instansi penegak hukum, kita tidak perlu menjadi Hakim dadakan (di dunia), sehingga kita dapat terhindar dari perbuatan yang melanggar ajaran agama.
Tapi yang pasti, jawaban yang saya sampaikan itu tak lain dengan harapan dan tujuan agar dapat memberikan pencerahan dan kejernihan dalam (logika) berpikir kepada “yang bertanya” dan member grup yang lainnya. Setidaknya dapat mengajak mereka agar terhindar dari perbuatan yang memfitnah, atau lebih familiarnya di telinga, ‘sesungguhnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan bukan?’ Sedangkan untuk urusan akhirat, saya katakan masuk surga dan tidaknya seseorang manusia di muka bumi sebaiknya kita serahkan kepada Tuhan Sang Pencipta mahluk beserta isinya.
Dan singkatnya, bahwa kita bukanlah seorang HAKIM di dunia dan bukan pula sebagai panitia surga. Demikian juga saya tegaskan masih dalam grup itu, bahwa esensi dari sebuah produk halal dan tidaknya, bukanlah ditentukan oleh sebuah logo yang telah berganti rupa, akan tetapi untuk menentukan produk halal adalah hasil dari sidang fatwa para alim ulama—para kiyai (MUI) yang merupakan satu kesatuan dari sebuah proses sertifikasi di BPJPH.
Oleh karenanya dipenghujung ini, bagi saya perdebatan atau polemik logo sertifikasi halal bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, karena hal itu terlalu sempit dan kerdil jika kita hanya ‘berkubang’ (berpikir) dengan persoalan yang bukan subtansi. Dan akhir kata, saya ucapkan sekian terima kasih semoga dapat tercerahkan.